Kenapa Rumah 18 Meter Jadi Viral? Ini Kelebihan & Kekurangannya
Sumber : canva.com

Kenapa Rumah 18 Meter Jadi Viral? Ini Kelebihan & Kekurangannya – Awal Juni 2025 kemarin, linimasa jagat maya heboh dengan wacana rumah subsidi super mungil seluas 18 meter persegi yang diusulkan oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), yang sempat tertuang dalam draft Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025.

Rumah subsidi yang punya ukuran setara dua kamar kos ini langsung mencuri perhatian netizen dan para ahli. Meski niat awalnya untuk mengatasi backlog perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), respons publik justru banyak yang kontra.

Tagar #rumahsubsiDIE bahkan sempat viral di media sosial, mencerminkan keresahan tentang kelayakan huni dari rumah mungil tersebut.

Siapa Target Rumah Subsidi 18 Meter Ini?

Program ini menyasar tiga segmen utama:

  • Gen Z & millennial fresh workers yang belum punya rumah
  • Pasangan muda dengan penghasilan gabungan di bawah Rp8 juta
  • Individu yang memilih hidup minimalist & low cost

Dengan estimasi harga Rp108–120 juta, rumah ini ditawarkan dalam dua tipe:

  • Tipe 18/25: bangunan 18 m² di atas tanah 25 m²
  • Tipe 18/30: bangunan 18 m² di atas tanah 30 m²

Desainnya dibuat super compact tapi tetap fungsional, satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur kecil, dan area duduk multifungsi. Lokasinya juga direncanakan dekat kawasan aglomerasi seperti Jabodetabek, jadi tetap dekat pusat aktivitas tanpa harus tinggal jauh dari kota.

Kelebihan Rumah 18 m²

Dari sisi finansial, rumah subsidi ini bisa jadi game changer bagi Anda yang selama ini merasa harga rumah di kota makin out of reach. Dengan dukungan subsidi pemerintah, cicilannya lebih ringan dan pastinya lebih achievable dibanding beli rumah fully private.

Menurut Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP, Sri Haryati, cicilan rumah subsidi saat ini masih di angka Rp1 jutaan per bulan dan ke depannya, nilai tersebut diharapkan bisa ditekan hingga Rp600 ribu per bulan. Sounds promising, right?

Buat Anda yang baru mulai bekerja atau pengantin baru, rumah ini bisa jadi stepping stone menuju kehidupan mandiri. Dibanding terus-terusan ngekos atau ngontrak, punya rumah sendiri tentu jadi milestone penting.

Ditambah lagi, rencana lokasinya cukup strategis, bukan jauh di pinggiran kota, tapi juga nggak harus beli tanah dengan harga sky high. So, win-win?

Baca Juga : Harga Naik dan FLPP Terbatas, MBR Berlomba Beli Rumah Subsidi

Tapi… Apa Kekurangannya?

Tinggal di rumah mungil pastinya datang dengan sejumlah trade-offs. Luas 18 m² artinya ruang gerak sangat terbatas. Kalau Anda tinggal sendiri, mungkin masih bisa manage. Tapi kalau sudah berkeluarga, ruang bisa terasa sesak.

Privasi juga jadi concern utama, karena semua aktivitas – tidur, masak, sampai terima tamu – dilakukan di area yang nyaris tanpa sekat. Belum lagi soal ekspansi. Kalau someday keluarga Anda bertambah, pilihan untuk memperluas ruang nyaris tidak ada.

Secara psikologis, tinggal di ruang yang terlalu sempit dalam jangka panjang bisa memicu stres dan menurunkan kualitas hidup. So yes, it’s a big deal.

Pro Kontra: Antara Realistis dan Standar Kelayakan

Tak hanya publik biasa, para pakar dan profesional juga ikut bersuara. Rissalwan Handy, Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial UI, menilai bahwa rumah 18 m² tak sesuai dengan standar BPS yang menyarankan minimal 32 m² untuk rumah layak huni. Meski begitu, ia menyebut rumah ini maybe masih bisa diterima untuk pasangan baru dengan satu anak, dengan catatan fasilitas sosial dan akses tetap memadai.

Sementara itu, pengamat tata kota Yayat Supriatna menyatakan bahwa ruang layak untuk satu orang minimal 9 m². Jadi, untuk 3–4 orang, seharusnya luas rumah berada di kisaran 27–36 m². Ia juga menegaskan bahwa kesuksesan micro housing di negara seperti China tidak bisa dijadikan pembanding, karena Indonesia belum punya kebijakan pembatasan jumlah anak.

Ikatan Arsitek Indonesia: “Rumah 18m Tidak Manusiawi”

Penolakan lebih keras datang dari kalangan arsitek. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) secara tegas menolak rencana rumah subsidi 18 m², apalagi jika diperpendek lagi jadi 14 m².

Menurut Ketua Umum IAI, Georgius Budi Yulianto, ukuran tersebut tidak manusiawi dan secara ergonomis tidak memenuhi standar minimum ruang gerak manusia.

Ia mengingatkan soal standar internasional dari UN Habitat dan WHO yang menyarankan minimal 9–10 m² ruang hijau publik per orang, untuk menjaga kualitas hidup masyarakat kota.

Update: Menteri PKP Batalkan Wacana Rumah 18 Meter

Melihat gelombang penolakan dari berbagai pihak, Menteri PKP Maruarar Sirait (Ara) akhirnya secara resmi pull the plug pada wacana ini. Dalam rapat dengan Komisi V DPR RI, ia mengakui bahwa ide ini awalnya datang dari aspirasi anak muda yang ingin tinggal di kota dengan harga terjangkau.

Namun setelah mendengar banyak masukan dari publik dan legislatif, Ara memutuskan untuk membatalkan program ini.

Kami dengar banyak anak muda ingin tinggal di kota, tapi tanahnya mahal, jadi mau diperkecil. Tapi saya mendengar banyak masukan, termasuk dari teman-teman Komisi V,” ujar Ara, dikutip dari detik.com

Selain Rumah 18 Meter, Masih Banyak Opsi Hunian Terjangkau

Meski wacana rumah super mungil ini dibatalkan, Anda masih punya banyak pilihan rumah subsidi yang lebih layak dan manusiawi. Lokasi tetap strategis, harga terjangkau, dan yang paling penting cukup ruang untuk hidup dengan nyaman.

Kalau Anda sedang cari rumah pertama yang sesuai dengan gaya hidup dan anggaran, langsung aja browse propertinya di belirumah.co 

Karena rumah pertama Anda bukan cuma soal punya atap, tapi juga tentang quality of life yang layak untuk Anda perjuangkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *